Minggu, 07 Juni 2015

Batik Klaten

BATIK BAYAT, WARISAN SUNAN UNTUK WONG KLATEN

Mengunjungi Kecamatan Bayat di Kabupaten Bayat seolah memang seperti pedesaan Jawa pada umumnya. Kebanyakan penduduk Bayat mencari nafkah di sawah sebagai petani dan sebagian ada yang menjadi perajin gerabah. Salah satu yang terkenal dari Bayat adalah makam Ki Ageng Pandanaran atau sering juga dipanggil Sunan Bayat. Ki Ageng Pandanaran awalnya menjadi pendatang di Bayat atas perintah Sunan Kalijaga untuk menyebarluaskan ajaran Islam di wilayah Selatan Kabupaten Klaten itu.
Batik Bayat Klaten
Tidak hanya menyebarkan agama Islam, Sunan Bayat juga mengajarkan seni membatik kepada para penduduk Bayat, khususnya di Desa Paseban. Sunan Bayat berharap keterampilan membatik itu kelak berguna bagi penduduk Bayat untuk memenuhi kebutuhan sandangnya. Seni batik tulis Bayat kemudian terkenal sebagai batiknya Wong Klaten. Meski telah banyak modifikasi batik tulis Bayat secara kontemporer, batik Bayat juga masih mempunyai motif ciri khas, seperti Gajah Birowo, Pintu Retno, Parang Liris, Babon Angrem, dan Mukti Wirasat. Semua motif batik Bayat ini dominan dengan warna soga atau kecoklatan yang identik dengan warna batik Kasunanan Surakarta.
Sipon, salah satu perajin Batik Bayat, menuturkan bahwa batik Bayat kurang menonjol karena dominasi batik Kasunanan Surakarta dan batik Kasultanan Yogyakarta. Sekitar 50 perajin batik tulis di Bayat justru lebih sering menerima pesanan dari sentra batik di Solo dan di Jogja. Dulunya, Sipon adalah pegawai di Danar Hadi Solo sejak tahun 1973. Namun tiga tahun lalu, Sipon mendirikan sentra batiknya sendiri yang ia beri nama Batuk Tulis Tradisional Warna Alam Retno Mulyo. Dengan modal awal Rp. 75 juta, sekarang Sipon bisa menerima pesanan dari Danar Hadi Solo dan mengerjakan pesanan itu di sentra batiknya di Bayat. Sekarang batik karya Sipon telah menembus Solo, Jogja, Semarang, dan bahkan Jakarta.
Tidak hanya Sipon dan rekan-rekan seangkatannya, para penerus Sipon pun tetap melestarikan batik Bayat. Sebut saja Dyah Evi Kurniasari, seorang sarjana teknik industri dari Universitas Islam Indonesia, yang kembali ke kampung halamannya dan meneruskan usaha batik Bayat yang telah dirintis keluarganya itu. Dyah Evi Kurniasari mengembangkan Batik MY warisan keluarganya itu dengan berbagai inovasi. Tidak hanya digunakan untuk jarit, batik MY milik Evi juga digunakan sebagai pakaian sehari-hari, sarung bantal, penutup tempat tidur, dan bahkan untuk hiasan batik. Dengan begitu, batik Bayat diharapkan bisa bersaing dengan batik-batik modern.
Lain lagi dengan apa yang dilakukan Putri Danis Mahmudah. Siswi SMKN 1 ROTA, Bayat, ini menjadi juara pertama lomba Youth Speak Writing Competition berkat tulisannya tentang batik Bayat. Kompetisi menulis yang diadakan The Jakarta Post ini mengangkat tema “My City, My Heritage”. Sebenarnya ada teman Putri yang juga menulis tentang batik nusantara, namun karena ketertarikan Putri dengan batik Bayat maka Putri menghasilkan tulisan berjudul “Bayat, My Heritage Village”. Putri sendiri tak menyangka bisa memenangkan kompetisi ini karena menurutnya ia menulis itu hanya untuk memenuhi permintaan yayasan yang membangun sekolahnya.
Tidak disangka berkat tulisannya itu, Putri ikut mempopulerkan batik Bayat. Dalam tulisannya itu, Putri bercerita tentang kisah batik Bayat yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Putri mendapatkan kisah-kisah itu dari neneknya yang juga seorang pembatik. Ibunya, Idaningsih, juga seorang pembatik. Ayahnya, Sigit Waluyo, juga bekerja sebagai pencampur warna di usaha batik Sapto Hoedojo di Yogyakarta. Pantas saja bila darah seni batik tulis Bayat menjadi semangat Putri untuk mendalami ilmu tekstil di sekolahnya. Kelak penerus-penerus seperti Putri ini yang akan menjadi harapan dalam pelestarian batik Bayat yang menjadi ikon batik Klaten.
Ilustrasi diambil dari BatikBayat.Com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar